Oleh: Sisilia Nurmala Dewi,
Ketua Tim 350.org Indonesia

 

Pertemuan tahunan G20 akan kembali dihelat. Kini pertemuan itu mengambil tempat di Osaka, Jepang, tanggal 28 -29 Juni 2019. G20 merupakan kelompok negara-negara yang secara akumulatif mengontrol 85% perekonomian global. Di sisi lain, anggota G20 bertanggung jawab pada 75% tingkat emisi dunia. Setiap tahunnya, acara G20 dihadiri puluhan ribu orang yang berkepentingan pada arah pembangunan dunia serta terciptanya kesepakatan penting berbagai negara, baik yang bersifat multilateral, ataupun bilateral.

Sekarang, mengapa tulisan ini membahas soal G20? Pertama, percaya atau tidak, Indonesia sudah dihitung sebagai salah satu poros kekuatan ekonomi dunia. Ya, Indonesia merupakan anggota G20, satu-satunya dari ASEAN. Kedua, epang yang menjadi tuan rumah pertemuan tahunan kali ini merupakan pemodal kedua terbesar pembangunan infrastruktur batubara setelah China, dimana Indonesia merupakan penerima pendanaan energi fosil terbesarnya!

Mengawali pertemuan G20 ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sempat menyatakan akan memimpin negara-negara maju untuk mengatasi krisis iklim. Akan tetapi, hal itu tidak tercermin lewat bank-bank publiknya, seperti Marubeni, Sumitomo, dan Mizuho yang membiayai pelepasan emisi besar-besaran di negara-negara penghasil batubara seperti Indonesia. Meski protes dari masyarakat yang terdampak terus mengalir, proyek-proyek pembangkit listrik tenaga uap dari batubara ini jalan terus. Itu kalau kita urus rumah tangga orang.

 

 

Kalau di rumah tangga kita sendiri, agenda transisi energi juga belum menjadi prioritas. Sampai tahun 2025, pemerintah Indonesia hanya berencana mengurangi penggunaan batubara sejumlah 8,2%, dari yang semula 62,7% menjadi 54,5%. Prosentase itu juga belum memasukkan penggunaan gas yang proporsinya cukup signifikan, sementara ia sendiri masih merupakan energi fosil.

Di pertemuan G20 tahun ini, pemerintah Indonesia mendorong isu adaptasi perubahan iklim. Syukur bahwa pemerintah masih ingat bahwa kita merupakan salah satu dari sembilan negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, hal ini ironis kalau melihat kenyataan bahwa upaya mitigasi yang dilakukan tidak optimal, terutama di sektor energi. PLTU di seluruh Indonesia masih akan mencekik kita dengan emisi gas rumah kaca dan polutan sebagai hasil dari kompromi lingkaran bisnis sektor batubara yang melilit pemerintah dan elit politik negeri ini. Jadi, kalau Jepang terlihat seperti pahlawan kesiangan, Indonesia masih mengedepankan mental sebagai korban, meski sangat bisa mengubah keadaan.

Secara keseluruhan, negara G20 masih memberi subsidi hingga US$147 miliar untuk batubara, minyak dan gas bumi pada 2016. Tekanan setiap tahun kepada forum ekonomi global ini untuk mengatasi krisis iklim sudah digalakkan sejak lama, termasuk pada pertemuan G20 tahun lalu di Hamburg, Jerman. Uniknya, Jerman baru saja meluncurkan komitmennya untuk menutup 84 PLTU batubaranya dalam waktu 19 tahun. Barangkali, tekanan publik saat itu telah didengar. Dan tahun ini, Jerman memiliki bragging rights atau hak untuk pamer bahwa mereka selangkah lebih maju dalam penanganan krisis iklim.

Jepang (dan Indonesia) juga punya kesempatan yang sama untuk memamerkan prestasi dan progresivitasnya dalam memecahkan persoalan iklim di tahun-tahun mendatang. Namun, itu semua tidak mungkin terjadi kalau tidak ada tekanan publik yang kuat dan sampai di telinga para elit dunia itu. Di sinilah, bukan hanya para pemimpin yang berperan, tetapi seluruh warga dunia di mana KAMU adalah bagian di dalamnya.

Perubahan kebijakan diawali dengan perubahan paradigma. Ini merupakan arena kita, orang-orang (luar) biasa, untuk berbuat sesuatu. Tanggal 20-27 September nanti, anak-anak muda yang mogok sekolah untuk iklim mengajak kamu dan siapa saja untuk berhenti melakukan kesehariannya dan memanfaatkan waktu jeda itu untuk menyampaikan tuntutan kepada para pemimpin dunia agar lebih serius menangani kondisi darurat iklim, tak terkecuali di Indonesia. Semua dapat ambil bagian.

Semua PERLU ambil bagian. Ayo kembali menyatukan langkah dan merapatkan barisan untuk masa depan kita dan seluruh makhluk hidup!

N.B. Jangan mau kalau sama pikachu-pikachu ini.

 

FacebookTwitter