Paris Agreement mengikat 195 negara yang telah menandatangani perjanjian ini untuk secara bersama-sama menahan kenaikan suhu global “jauh di bawah 2°C”.

Berkat upaya tanpa henti koalisi sejumlah negara yang rentan terdampak, penandatangan perjanjian itu akan “berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas emisi masa pra-industri, dan mengakui bahwa langkah ini akan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan”.

Seberapa penting menahan laju suhu 1,5°C dilakukan? Sangat penting.

Selama beberapa tahun terakhir, komunitas ilmuwan iklim mempelajari masalah ini hingga kemudian menemukan bukti penting yang perlu mendapat perhatian.

Pertama-tama, rencana aksi perubahan iklim saat ini, jika diimplementasikan, justru akan membuat Bumi kita 3,5°C lebih panas.

Namun, bahkan jika rencana ini selaras dengan kenaikan suhu 2°C (secara teknis, kita berpeluang 66% untuk menjaga suhu di bawah 2°C), rencana aksi ini masih akan menimbulkan kerugian yang luar biasa, terutama bagi masyarakat rentan terdampak. Kenaikan suhu ini, akan mengakibatkan bencana yang memakan banyak korban pada tataran ekosistem, mengubah sebagian besar Bumi menjadi tempat yang lebih berbahaya, lebih miskin dan lebih sulit untuk dihuni.

Kondisi ini sudah mulai terjadi. Pemanasan global yang disebabkan manusia saat ini telah meningkatkan suhu sekitar 1°C di atas suhu masa pra-industri. Pada Juli 2018, suhu di sebagian besar Eropa, Afrika Utara, dan Asia Tengah berada antara 2°C dan 4°C lebih panas daripada suhu rata-rata di 1951-1980. Sebagian wilayah Antartika bahkan lebih panas hingga 6°C.

Sumber: NASA Goddard Institute for Space Studies (GISS), September 2016

 

Pada suhu kurang dari 1°C di atas rata-rata suhu masa pra-industri, kita menyaksikan lebih banyak cuaca ekstrem dan efek perubahan iklim lainnya—melampaui perkiraan beberapa tahun yang lalu. Menurut Jurnal Nature Climate Change baru-baru ini, “ karena efek waktu tunda dalam berbagai sistem, kami belum merasakan dampak pemanasan yang terjadi saat ini sepenuhnya”.

Keadaan ini mungkin tidak mengherankan. Para ilmuwan cenderung melakukan kesalahan selain karena faktor kehati-hatian juga karena model yang mereka gunakan untuk menyimpulkan prediksi ini berubah semakin kompleks seiring waktu. Hal ini penting karena sains saat ini menyebutkan kita sedang memanaskan bumi dengan laju sekitar 0,2°C per dekade dan kita akan mencapai batas bahaya pada kenaikan suhu 1,5°C di tahun 2040–bahkan mungkin lebih awal.

Jadi, mengapa kita harus menahan laju pada batas 1,5°C? Pada bagian ini, kami telah menyusun daftar dampak iklim yang diperkirakan terjadi saat suhu naik 1,5°C dan 2°C pada bumi. Bukti ilmiah yang dikumpulkan di sini hanyalah sebagian kecil dari semua penelitian yang diterbitkan dan dikaji antar sesama ilmuwan. Namun, kumpulan kecil bukti ini sudah memberikan gambaran yang cukup gamblang.

 

Suhu Panas

Ketika para ilmuwan dan wartawan berbicara tentang perubahan suhu, mereka umumnya mengacu pada perubahan suhu rata-rata global di daratan.

Ini berarti bahwa laju peningkatan suhu rata-rata global 0,5°C, misalnya dari 1,5°C menjadi 2°C, tidak terjadi secara merata di seluruh bagian Bumi. Pemanasan di daratan lebih terlihat dibanding di lautan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah dampak pada suhu ekstrem  dari bertambahnya suhu sebesar 0,5°C bisa empat atau lima kali dari suhu rata-rata global. Jika kita melampaui batas 1,5°C menuju 2°C, banyak tempat akan memanas jauh di atas 0,5°C ini, bahkan hingga 2–2,5°C lebih di wilayah tertentu.

Berikut dampak pemanasan ini dalam dunia nyata:

  • Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dengan pemanasan sebesar 1,5°C, setiap tahun Kolkata akan mengalami gelombang panas mematikan seperti yang terjadi pada tahun 2015. Pada 2°C, Karachi juga akan mengalami gelombang panas serupa setiap tahun.
  • Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa secara global, jumlah megapolitan yang dapat terkena dampak yang sama di bawah skenario 1,5°C akan menjadi dua kali lebih banyak. Ada total sekitar 350 juta lebih orang yang akan terdampak gelombang panas serupa di tahun 2050.
  • Menurut   penelitan lain , menjaga suhu pada 1,5°C berarti mengurangi 15 hingga 22% lebih sedikit korban jiwa yang timbul akibat gelombang panas di setiap musim panas, dibandingkan jumlah korban pada skenario 2°C, di kota-kota utama di Eropa.
  • Daratan Mediterania yang sudah mengering , termasuk Afrika Utara dan Timur Tengah; Selatan Afrika; Wilayah timur laut Brasil akan terdampak parah dalam hal ketersediaan air. Mediterania, misalnya,   diramalkan  akan memiliki air segar 17% lebih sedikit saat suhu naik 2°C, sementara pada kenaikan suhu 1,5°C air hanya berkurang 9%.

 

Kebakaran

Frekuensi dan intensitas kebakaran hutan yang meningkat adalah bukti  yang kuat kenaikan suhu. Faktanya,  sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2012  memperkirakan bahwa, tanpa langkah yang cepat dan tegas untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, kemungkinan terjadinya kebakaran akan meningkat sebesar 37,8% secara global antara tahun 2010-2039 (<1,5°C) dan sebesar 61,9% pada tahun 2070-2099 (> 3,5°C).

 

Badai

Dampak perubahan iklim pada peningkatan intensitas badai tropis telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu. Baru-baru ini, beberapa  studi mengenai dampak pemanasan pada penguapan terkait topan Harvey telah meramalkan lonjakan badai yang bergerak lambat, badai Florence yang terjadi baru-baru ini. Pemanasan lanjutan pada 1,5°C atau 2°C akan meningkatkan kelembapan lebih jauh lagi,  sekitar 7% untuk setiap 1°C di atas rata-rata.

Karena pemanasan lokal terkadang jauh melebihi rerata global, kondisi ini bisa menimbulkan banjir yang lebih besar secara berlipat di wilayah pesisir. Para ahli sedang mempertimbangkan apakah kita sudah perlu menambahkan kategori ke-enam ke dalam skala lima kategori yang digunakan untuk mengukur intensitas badai saat ini.

 

Kenaikan Air Laut

Wilayah pesisir juga berisiko terkena dampak kenaikan permukaan laut. Es laut musim panas Arktik berkurang dengan cepat. Belum jelas kapan tepatnya lapisan es di Arktik akan hilang selama musim panas.  Tetapi kebanyakan model ilmiah memperhitungkan–pada kenaikan suhu antara 1,5°C dan 2°C– ada kemungkinan kecil lapisan es Arktik akan hilang selama musim panas bahkan pada suhu 1,5°C.   

Sebuah penelitan terbaru  memprediksi “kenaikan permukaan laut secara rerata global pada stabilisasi 1,5°C dan 2°C di tahun 2300 masing-masing sekitar 0,9 m dan 1,2 m”.

Berita baiknya es laut sepanjang tahun dapat kembali, jika iklim distabilkan pada tingkatan yang sesuai (pada atau di bawah 1,5°C).

Namun kabar buruknya adalah bahwa es laut bukanlah satu-satunya faktor penyebab kenaikan permukaan laut (SLR). Menurut para ilmuwan,  28-44% volume gletser saat ini tidak lestari dan akhirnya akan meleleh pada iklim saat ini (1°C di atas suhu masa pra-industri). Kenaikan suhu lebih lanjut hingga 1,5°C dan 2,0°C “akan menyebabkan kenaikan permukaan laut sebesar 159 (115-179) dan 191 (139-205) mm” yang disebabkan oleh melelehnya gletser.

Akibatnya, ratusan juta orang, terutama yang tinggal di daerah pesisir berisiko terkena dampak kenaikan permukaan laut. Pada tahun 2030, 400 juta orang akan tinggal di 23 megapolitan yang letaknya di pesisir, termasuk 370 juta yang tinggal di pantai Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

“Proyeksi permukaan laut regional untuk pemanasan (A dan B) 2°C (berdasarkan RCP8.5), (C dan D) 4°C (berdasarkan RCP8.5), dan (E dan F) 5°C (berdasarkan RCP8 .5) relatif terhadap 1986–2005. A, C, dan E menunjukkan proyeksi menengah, sementara B, D, dan F menampilkan batas atas (95%). Kontur hitam menandai tinggi permukaan laut global, dan kontur putih menandai tidak adanya kenaikan permukaan laut.” Sumber: Coastal sea level rise with warming above 2 °C, Svetlana Jevrejeva, Luke P. Jackson, Riccardo E. M. Riva, Aslak Grinsted, John C. Moore, Proceedings of the National Academy of Sciences Nov 2016, 113 (47) 13342-13347; DOI: 10.1073/pnas.1605312113

Bahkan pada pemanasan 2°C, lebih dari 70% garis pantai dunia akan mengalami kenaikan permukaan laut lebih dari 0,2m. Dengan pemanasan 4°C, 80% garis pantai akan mengalami kenaikan permukaan laut setinggi 0,6m. Erosi, banjir, dan faktor terkait lainnya akan meningkatkan kerentanan wilayah pesisir terhadap kenaikan permukaan laut. Faktanya, biaya adaptasi area pesisir terhadap kenaikan permukaan laut  adalah salah satu alasan terkuat untuk melakukan mitigasi.

Wilayah pesisir juga akan mengalami risiko lain akibat punahnya kehidupan laut yang disebabkan hilangnya terumbu karang secara cepat. Sayangnya, lebih dari 70% terumbu karang global dapat musnah dikarenakan pemutihan, bahkan pada kenaikan suhu 1,5°C. Pada kenaikan 2°C, prediksi risiko terhadap terumbu karang meningkat menjadi 99%. Hilangnya terumbu karang dan kehidupan laut yang terkait akan menempatkan lebih banyak tekanan pada masyarakat yang mencari nafkah dari sumber daya tersebut.

 

Pangan dan kesehatan

Ketersediaan  pangan  dan  kualitasnya terdampak secara negatif dengan perbedaan yang mencolok antara konsentrasi karbon di atmosfer. Bumi pada kenaikan suhu 1,5°C menghasilkan panen dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih bergizi. Dampak yang sama juga terjadi pada perikanan. Jumlah ikan dan ukurannya “sedikit terpengaruh” berdasarkan skenario pemanasan rendah yang selaras dengan kenaikan suhu 1,5°C, namun “sangat terdampak” jika pemanasan yang lebih tinggi terjadi.

 

Ekonomi

Menurut penelitan Nature tahun 2016, biaya sosial karbon saat ini dapat meningkat delapan kali lipat, dari US$15 per tCO2 menjadi US$116 per tCO2, saat titik kritis perubahan iklim tercapai.

Penulisnya berpendapat bahwa kebijakan optimal harus menjadi “upaya masif dan segera untuk mengendalikan emisi CO2, mengarah ke stabilisasi iklim pada <1,5 °C di atas kenaikan suhu pada masa pra-industri”.

Penelitian terbaru lainnya  menemukan bahwa pemanasan sebesar 2°C akan menyiratkan “pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan lebih rendah secara signifikan di banyak negara”, namun faktanya rata-rata PDB per kapita akan berkurang 13% pada 2100. Sebagai perbandingan, dampak ekonomi terhadap pertumbuhan PDB dengan kenaikan suhu 1,5°C akan hampir tidak dapat dibedakan dari kondisi saat ini (1°C).

Menurut penelitian  Stanford  baru-baru ini, menahan pemanasan global di bawah 1,5°C akan berpeluang 75% mengurangi dampak kerugian ekonomi, dibandingkan pada peningkatan suhu 2°C. Diperkirakan ada 60% peluang manfaat kumulatif hingga US$20 triliun pada akhir abad ini. Sebaliknya, kerugian dalam keluaran ekonomi global akan jauh lebih besar pada kenaikan suhu 2°C atau lebih. Keluaran per kapita akan menyusut sebesar 15-25% pada bumi yang lebih panas 2,5-3°C , dan keluaran ekonomi global akan menjadi 30% lebih rendah dalam skenario pemanasan 4°C.

Satu langkah kecil untuk memulai, daftarkan nama kamu dalam petisi kami di bawah:

Saya Mau Bebas Energi Fosil

FacebookTwitter