October 2, 2019

8.000 Warga Indonesia Bergabung, Perjuangan Terus Berlanjut

Jakarta – Minggu lalu jadi saat yang bersejarah untuk Indonesia, karena untuk pertama kalinya lebih dari 8.000 orang bergabung dalam puluhan aksi #JedaUntukIklim di 24 kota pada 20-27 September 2019. Anak-anak berada di barisan depan, bersama mahasiswa, pekerja, dan orang tua yang menjawab panggilan mereka. Indonesia jadi bagian aksi yang melibatkan hampir 8 juta orang di 185 negara. Ini bukti kita memiliki kekuatan rakyat yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim dan mengakhiri era energi kotor.

Di Indonesia, kita melihat Aceh, Bali, Batam, Bandung, Cilegon, Cirebon, Garut, Indramayu, Jakarta, Ketapang, Kupang, Malang, Makassar, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru, Pontianak, Samosir, Semarang, Sidoarjo, Sukadana, Surabaya, dan Yogyakarta bergerak serentak.

“Tuntutan intinya satu, agar pemerintah mendeklarasikan darurat iklim dan melaksanakan transisi ke energi terbarukan yang adil dan lestari,” ujar Irham Fathurrahman dari Climate Rangers, salah satu penggagas aksi di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2019.

Tiap aksi bisa juga menambahkan tuntutan yang relevan. Misal, Palangkaraya dan Pontianak mendesak pemerintah segera mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang sudah 22 tahun tak tuntas. Aceh meminta pemerintah memfasilitasi pemilahan, pengolahan, dan daur ulang sampah, serta mendorong anak muda mengurangi pemakaian plastik. Bengkulu menyeru semua pihak agar berhenti kecanduan batu bara.

Setelah turun ke jalan selama seminggu penuh, para penyelenggara aksi di Palangkaraya berhasil mendesak DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng) beserta Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, untuk bertemu dan menyatakan komitmennya.

“Sesudah diskusi alot selama hampir 3 jam, anggota DPRD Kalteng dan Gubernur Kalteng menyatakan akan memenuhi 3 tuntutan kami untuk menyelesaikan 22 tahun kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Yaitu, tindak tegas korporasi perusak lingkungan Kalimantan, lindungi pendidikan dan kesehatan kami dengan menyediakan ruang bebas asap di sekolah, serta berhenti mengkambinghitamkan peladang dan petani lokal. Tuntutan ini harus dilaksanakan sebelum 30 Oktober 2019,” tutur Marsela Arnanda dari Youth Act Kalimantan, koordinator Kalimantan Climate Strike. Selain turun ke jalan, relawan organisasi ini juga telah membantu memadamkan api di lapangan, menyediakan rumah aman asap, dan membagikan masker N95 ke masyarakat.

Rangkaian aksi #JedaUntukIklim sangat beragam dan menunjukkan kreativitas anak muda seantero nusantara: workshop dan pameran seni, sablon kaos, diskusi tentang darurat iklim, nonton film bareng, aksi teatrikal, foto solidaritas, festival budaya, hingga pawai dan turun ke jalan.

Aksi #JedaUntukIklim pertama di Indonesia tercatat dimulai pada 13 September 2019 di Malang. Pesertanya ialah para Pejuang Iklim cilik dari SDK Santa Maria 3 beserta guru-gurunya. Wajah-wajah pewaris masa mendatang berada di baris depan aksi ini.

Di Bengkulu, para penggagas #JedaUntukIklim melakukan aksi teatrikal dengan wajah dicat arang. Wajah hitam itu sinyal bagi gugatan mereka: stop kecanduan batu bara! Mereka mendesak pemerintah menghentikan niat mengubah sebagian lahan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat menjadi tambang batu bara. Padahal, di sanalah habitat terakhir gajah Sumatra.

Sementara itu, di Gampong Nusa, Aceh Besar, aksi dilakukan dalam bentuk membersihkan lingkungan dan makan sajian tradisional bersama. Mereka juga menonton layar tancap dan mengucapkan deklarasi menjaga bumi.

Semarang dan Yogyakarta adalah dua kota dengan paling banyak variasi kegiatan selama sepekan. Mulai dari Festival Seni Budaya, diskusi, pameran seni, workshop seni, pentas musik, pembuatan mural, hingga turun ke jalan mereka lakukan. Aksi juga bersifat inklusif, melibatkan beragam pemangku kepentingan, termasuk anak-anak dan penyandang difabel.

Namun, perjuangan belumlah berakhir. Apalagi, Pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim di New York tanggal 23 September 2019 terbilang mengecewakan. 65 negara telah menyatakan akan meningkatkan target iklimnya, tapi itu tak cukup. Tiga negara penghasil gas rumah kaca terbesar, yakni Cina, Amerika Serikat, dan India, hanya bergeming. Indonesia, penghasil gas rumah kaca keenam terbesar di dunia, pun serupa.

“Apa yang terjadi di masa depan bergantung pada kita. Mobilisasi iklim terbesar dalam sejarah tidak akan cukup jika aksi itu berakhir minggu lalu dan peserta pulang ke rumah. Di Indonesia,kesadaran tentang gawatnya situasi iklim kita perlu ditungkatkan secara masif. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjadi adil kepada generasi mendatang,” ujar Sisilia Nurmala Dewi dari 350 Indonesia.

Jika publik mau menggunakan kekuatannya untuk terus memberi tekanan, ada banyak cara yang dapat disimak di next.jedauntukiklim.net. Masyarakat Indonesia juga bisa ikut serta mengakhiri era energi kotor dan membangun dunia bertenaga energi terbarukan yang adil untuk semua, dengan bergabung di fossilfree.id.

 

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi:

Irham Fathurrahman, Climate Rangers, 085921181595
Sisilia Nurmala Dewi, 350 Indonesia, 082110056308

Foto-foto aksi di berbagai kota dapat diunduh di: https://bit.ly/jedaiklim

FacebookTwitter