Denpasar, 25 September 2022. G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.

Ketut Mangku Wijana, seorang warga sekitar PLTU Celukan Bawang, bercerita bahwa seumur hidupnya pohon kelapanya tidak pernah meranggas. Tidak seperti beberapa tahun terakhir setelah PLTU dibangun.Penyebab rusaknya pohon-pohon kelapa di kebunnya bukan karena hama karena tidak ada pohon yang terkena hama. Di kebunnya yang lain, yang lokasinya lebih jauh dari PLTU Celukan Bawang, pohon kelapanya baik-baik saja. “Dampak proyek ini sangat jelas buruk baik saat ini maupun dan dalam jangka panjang. Dampak ke tanaman pangan, pohon kelapa, jambu mete dan tanaman yang lain.”

Dampak buruknya tidak hanya itu, limbah B3 dari PLTU Celukan Bawang ternyata dibuang di pinggir jalan di daerah Sumberkima, Buleleng. Dijadikan material urug untuk bangunan. “Ini yang kita tidak tahu, apakah masyarakat tidak tahu bahwa itu limbah B3 dan masyarakat meminta material urugan atau itu sengaja ditawarkan kepada masyarakat.”

Di Bali bagian selatan, rencana pembangunan terminal LNG sebagai bagian dari transisi energi, juga berpotensi merusak lingkungan hidup. Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali, menyampaikan, “pembangunan terminal LNG ini akan dilakukan dengan cara mengorbankan 14,5 hektar mangrove karena aktivitas dredging yang akan menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung pesisir sanur”.

Khamid Istakhori, dari Global Organizing Academy, Building and Wood Workers International Building menyatakan, pembangunan PLTU tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga promosi bahwa PLTU dibangun untuk membuka lapangan pekerjaan besar, itu adalah ilusi kosong. “Serikat pekerja dan aktivis lingkungan sama-sama bagian dari masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan PLTU ini. Sehingga harus ada solusi yang adil dalam transisi ini harus dipikirkan solusinya berkeadilan untuk semua pihak termasuk para pekerja.” ujarnya.

Sementara itu, Sisilia Nurmala Dewi, Asia Managing Director 350.org menyatakan perluasan energi fosil adalah problem yang terbesar yang dihadapi generasi ini, dan saat ini juga sedang didorong transisinya juga melalui Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah pendanaan dari negara maju untuk transisi energi dan kesempatan pertama diberikan kepada Afrika Selatan, secara khusus perusahaan penyedia listrik publik di sana yaitu ESKOM. Skema yang sama digadang-gadang akan diberlakukan juga untuk Indonesia.

Menurut Sisilia, PLN sebagai perusahaan yang kemungkinan besar akan menerima pendanaan tersebut perlu banyak berbenah. “ESKOM sudah punya target sampai nol emisi pada 2050 juga pipeline transisi energi. Sedangkan PLN  tidak punya pipeline transisi energi dan target nol emisinya lebih jauh, 2060. PLN tidak punya target yang kuat, spesifik dan serius untuk melakukan transisi energi di indonesia.”

Menurut Kunny Izza dari Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan, oleh karena itu butuh demokrasi energi. “Ada lima prinsip dasar demokrasi energi, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat.”

Narahubung

  • Suriadi Darmoko (350 Indonesia) 0857-3743-9019
  • Kunny Izza (AEER) 0852-2633-4626
FacebookTwitter