1. Bumi memanas.
Saat ini, suhu rata-rata global tahunan mencapai sekitar 1,1° Celsius yang lebih panas dari tingkat pra-industri.
(Terima kasih kepada Dr. Kimberly Nicholas yang sudah mengungkapkanya dengan sangat sederhana.).
Krisis pangan, kekurangan air, penggusuran, konflik. Berbagai dampak krisis iklim telah dirasakan di mana-mana dan begitu memengaruhi orang-orang – menghantam dengan lebih keras kepada mereka yang berada di area atau dalam kondisi sosial yang paling rentan, yang sebenarnya berkontribusi paling sedikit terhadap memburuknya kondisi darurat ini.
bumi memanas dan kitalah penyebabnya. Dan terserah kita sendiri bagaimana mengatasi krisis ini, guna memastikan masa depan yang layak huni dan setara bagi semua.
Saat ini, suhu rata-rata global tahunan mencapai sekitar 1,1° Celsius yang lebih panas dari tingkat pra-industri.
Bumi selalu memiliki siklus pemanasan dan pendinginan alami, tapi tidak seperti yang kita lihat sekarang. 10 tahun terpanas yang pernah tercatat semuanya terjadi setelah tahun 2000, dengan rekor yang terus terpecahkan dari tahun ke tahun. Dan menurut IPCC, “Tiap-tiap dekade dari empat dekade terakhir secara beruntun lebih panas daripada dekade kapan pun sebelumnya sejak 1850.”
Laporan terkini dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tentang Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan menegaskan bahwa dengan laju saat ini, suhu dunia dapat lebih tinggi dari 1,5˚C segera setelah 2040. Itu hanya berjarak dua dekade dari sekarang, yang juga dalam rentang hidup kebanyakan orang yang hidup hari ini. Dan bahkan kalau janji-janji saat ini dari sejumlah pemerintahan di berbagai penjuru dunia untuk mengurangi emisi pada 2030 terpenuhi, kita masih berada pada jalur menuju kenaikan suhu 2,7˚C di akhir abad ini.
Kenaikan suhu bukan hanya berarti temperatur yang memanas. Iklim bumi itu kompleks — bahkan sedikit kenaikan pada suhu rata-rata global berarti perubahan besar, dengan banyak efek samping yang berbahaya dan berpotensi merusak seluruh ekosistem. Berbagai studi menunjukkan bahwa suhu lebih dari 1,5˚C dapat memicu sejumlah “titik awal” bagi sistem iklim kita dan “perubahan ini dapat menimbulkan pelbagai dampak seketika, takterbalikkan, dan berbahaya disertai beragam akibat serius terhadap kemanusiaan.”
Suhu 1,5˚C ditetapkan oleh Kesepakatan Paris pada 2015 sebagai ambang batas suhu krusial. Bahkan perbedaan suhu yang kecil merupakan perbedaan antara hidup dan mati bagi jutaan orang (laporan People’s Dossier kami tentang suhu 1,5˚C memberi lebih banyak penjelasan tentang alasan kita perlu tetap berada di bawah 1,5˚C). Dan jika suhu bumi naik 2,7˚C sesuai prediksi, para ilmuwan mengatakan itu berarti, “Panas yang tidak layak huni untuk sejumlah bagian waktu dalam setahun di berbagai wilayah tropis dan subtropis. Keanekaragaman hayati akan terkikis hebat, keamanan pangan anjlok, dan cuaca ekstrem akan melampaui kapasitas dari sebagian besar infrastruktur kota untuk menghadapinya.”
GRAFIK: NASA TIME SERIES: 1884 SAMPAI 2021
Manusia menyebabkan perubahan iklim, sebagian besar karena pembakaran energi fosil. Kenaikan suhu hampir pasti berkorelasi dengan pelepasan gas rumah kaca.
Sebelum abad 18, ketika orang-orang Barat di era industri mulai membakar batu bara, minyak bumi dan gas, atmosfer kita pada umumnya mengandung 280 bagian per juta (ppm) karbon dioksida. Itulah kondisi “yang melandasi perkembangan peradaban dan arah adaptasi kehidupan di bumi.”
Saat penggunaan energi kotor menyebar di dunia, kadar karbon di atmosfer melonjak. Pada 2002, kita berada di posisi 365 ppm CO2 di atmosfer, dan hanya dua dekade kemudian kita melewati 420 ppm.
Di saat yang sama, permintaan pertanian berbasis ternak dari negara-negara kaya telah membuat gas rumah kaca lainnya seperti metana dan nitrogen oksida meningkat pesat. Pertanian menyumbang sekitar 15% emisi global. Pembakaran energi fosil tetap menjadi kontributor tunggal terbesar untuk masalah ini: energi fosil bertanggung jawab untuk 89% emisi gas rumah kaca sektor energi pada 2021. Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa karbon dioksida tetap aktif di atmosfer jauh lebih lama dibandingkan metana dan gas rumah kaca lainnya.
Perusahaan-perusahaan energi kotorlah yang mengambil karbon berumur jutaan tahun, yang dulunya tersimpan di dalam bumi sebagai energi fosil, dan melepasnya ke atmosfer. Menjaga energi fosil tetap di dalam bumi adalah langkah terpenting yang dapat kita lakukan guna mencegah berlanjutnya perubahan iklim.
Sumber: NOAA
99%ilmuwan setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh emisi gas rumah kaca buatan manusia. Tidak ada debat yang bermanfaat terkait ilmu dasar perubahan iklim.
Pada 1890-an, kita telah mengetahui bahwa semakin banyak CO2 di atmosfer akan menaikkan suhu bumi. Serangan pada kredibilitas ilmu dasar perubahan iklim dilanggengkan oleh berbagai kepentingan terselubung, termasuk dari industri energi kotor, yang terus saja menggelontorkan uang demi membuat ketidakpastian pada pemahaman kita tentang perubahan iklim. Hanya antara Kesepakatan Paris 2015 dan 2019, 5 perusahaan minyak terbesar saja sudah menghabiskan total US$1 miliar untuk penyesatan citra terkait iklim dan pelobian.
Perusahaan minyak Exxon telah mengetahui dampak perubahan iklim pada 1970-an, dan menyadari bahwa aksi iklim akan mengimbas keuntungan mereka. Hasilnya, mereka bergabung dalam serangan oleh industri luas terhadap kebenaran, dan menciptakan debat palsu yang menghalangi aksi iklim selama beberapa dekade. Tindakan yang sama juga dilakukan Total Energies – sejarawan mendapati bahwa perusahaan minyak raksasa ini telah mengetahui bisnis inti mereka telah menyebabkan pemanasan global 50 tahun yang lalu. Namun demikian, mereka menutupi kebenaran, mendanai misinformasi, serta membohongi pemegang saham dan publik. Kini kita tahu bahwa Exxon, Total dan sejumlah perusahaan lain telah berupaya melindungi infrastruktur mereka dari perubahan iklim selama beberapa dekade — sementara menentang aksi iklim yang melindungi kita semua.
Exxon ingin kita memercayai pelintiran mereka – tapi itu mengharuskan kita menyangkal para ilmuwan dan kita yang ada di lapangan. Pengetahuan adat, tradisional dan lokal mengatakan kepada kita bahwa iklim berubah, dan bahwa cara kita mengelola bumi tidak berkelanjutan. Lebih 24% lahan yang paling terlindungi di bumi dikelola oleh komunitas lokal atau masyarakat adat. Dan seperti yang ditunjukkan oleh Ailton Krenak, seorang pemimpin adat dan penulis dari Brazil, “Orang mengira perubahan iklim adalah sesuatu di masa depan, tapi kami mengalaminya di dalam hutan dalam waktu lama. […] Cara hidup kita di banyak tempat di Bumi adalah melalui interaksi yang terus-menerus antara manusia dan alam. Semua masyarakat adat menyikapi dengan berbagai cara berbeda terhadap basis alami dari kehidupan kita karena proses kolonisasi. Kami melakukannya dengan sisa-sisa ingatan dan tradisi kami, dan inilah yang membentuk pandangan dunia serta menjaga ketangguhan kami”.
Kalau kita memperhatikan pernyataan para ilmuwan dan komunitas paling terdampak, bukannya penipuan dari industri energi kotor, pesannya jelas: manusia mempercepat terjadinya perubahan iklim, yang sebenarnya telah membawa pelbagai dampak merugikan ke seluruh dunia – perekonomian, lingkungan hidup, sosial dan kemanusiaan. Cara terbaik menghentikannya adalah dengan menjaga energi fosil tetap di dalam bumi, dan melajukan transisi yang adil menuju masa depan yang diinisiasi oleh komunitas, adil dan bersih untuk semua.
‘Debat’ itu SELESAI. Para ilmuwan berpawai untuk aksi perubahan iklim. Kredit foto: Jalan ke Paris
Pemanasan 1,1˚C telah membawa dampak menghancurkan bagi manusia dan bumi. Dampak ini menghantam lebih keras sebagian dari kita..
Menurut laporan terkini IPCC tentang Dampak, Adaptasi dan Kerentanan, sekitar 3,3 sampai 3,6 miliar orang hidup di situasi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Laporan ini juga menyatakan bahwa 50-75% populasi dunia dapat terpapar periode “kondisi iklim yang mengancam hidup” pada 2100, khususnya yang terkait dengan kondisi panas dan curah hujan yang memburuk.
Produksi pangan juga terdampak sangat negatif oleh pemanasan global. Hasil gandum, misalnya, menghadapi penurunan produksi. Ketidakamanan pangan dan kekurangan air dapat menimbulkan krisis kemanusiaan, konflik dan penggusuran, berdampak secara berbeda pada berbagai wilayah di dunia – berbagai dampak tak sebanding dapat kita saksikan di sebagian Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, pulau-pulau kecil, dan Arktika.
Musim berubah dan menjadi lebih tidak terprediksi, yang membuat lebih sulit bagi petani untuk mengetahui waktu tanam dan panen. Sejumlah proyeksi menunjukkan bahwa bahkan jika suhu bumi tetap mendekati 1,5°C pada 2100, 8% lahan pertanian dunia saat ini akan tidak lagi cocok ditanami. Produksi ikan di berbagai wilayah tropis Afrika akan mengalami penurunan yang dapat mencapai 3% hingga 41% – yang akan memperburuk krisis pangan karena kehidupan laut adalah sumber utama protein bagi sekitar sepertiga penduduk yang tinggal di benua itu.
Ketimpangan sosial di dalam dan di semua negara akan semakin banyak karena dampak krisis iklim menghantam lebih keras. Kelompok-kelompok yang rentan, “termasuk perempuan, anak muda, lansia, minoritas etnis dan agama, masyarakat adat, dan pengungsi ” cenderung lebih merasakan dampak krisis iklim – serta lebih mungkin mengalami kelangkaan pangan dan air, kemiskinan, masalah kesehatan, konflik, dan kekerasan yang terkait dengan perubahan iklim.
IPCC menyatakan perbedaan antara 1,5˚C dan 2˚C pada kenaikan suhu global dapat berarti 10 juta lebih banyak kaum migran karena kenaikan permukaan air laut. Orang di seluruh dunia memiliki hak untuk mencari kondisi terbaik yang memungkinkan untuk hidup dan berkembang. Tapi penggusuran paksa yang disebabkan kejadian terkait iklim (terutama banjir dan badai) telah menyingkirkan lebih dari 20 juta orang per tahun sejak 2008.
Adaptasi terhadap kondisi itu dan realitas baru lainnya yang timbul dari kekacauan iklim krusial dan tak terhindarkan, tapi juga menyorot ketimpangan di berbagai penjuru dunia. Pelbagai upaya yang dilakukan terpecah-pecah dan terdistribusi secara tak seimbang. Menurut para ilmuwan, “Masih ada kesenjangan adaptasi yang substansial, khususnya di antara populasi berpendapatan rendah. Dengan laju perencanaan dan penerapan seperti sekarang, kesenjangan adaptasi ini akan terus tumbuh [dan] dunia saat ini tidak siap menghadapi aneka dampak perubahan iklim, utamanya di luar pemanasan global 1,5°C”.
Ilmu dasar perubahan iklim tidak menyisakan ruang keraguan. Berbagai studi dan laporan terbaru mengonfirmasi apa yang telah kita ketahui selama beberapa dekade: meningkatnya kekerapan dan keparahan dari kejadian cuaca ekstrem adalah hasil dari perubahan iklim. Itu buruk bagi kita semua — dan bahkan lebih buruk untuk sebagian dari kita.
Keterangan: Peta interaktif menunjukkan bagaimana perubahan iklim memengaruhi cuaca ekstrem di seluruh dunia. Sumber: CarbonBrief
Salah satu temuan paling jelas dari ilmu dasar iklim adalah bahwa pemanasan global meningkatkan intensitas, durasi dan kekerapan gelombang panas, kekeringan, serta kebakaran.
Keterangan: Pada 2022, Eropa mengalami suhu ekstrem, dengan London (UK)
memecahkan rekor
suhu 40˚C sepanjang musim panas, kebakaran merambah sebagian Spanyol dan Portugal dan puluhan
ribu orang terusir. Kredit foto: NOAA
Atmosfer bumi dan lautan kita memanas sepuluh kali lebih cepat dari jangka waktu kapan pun dalam 65 juta tahun terakhir. Kondisi ini sangat terlihat khususnya dalam 20 tahun terakhir.
Keterangan: Peta yang disorot cokelat adalah wilayah-wilayah tempat kekeringan diperkirakan menjadi lebih buruk disebabkan perubahan iklim. Sumber: IPCC.
Pemanasan meningkatkan keparahan kekeringan. Atmosfer yang lebih panas menyerap lebih banyak air dari tanah, serta meningkatkan kemungkinan kondisi kekeringan dan stres tanaman. PBB telah mengingatkan bahwa "lebih dari 50 juta orang di Afrika Timur akan menghadapi ketidakamanan pangan akut" pada 2022 karena sedikitnya curah hujan dalam empat tahun berturut-turut. Kekeringan itu yang terburuk dalam 40 tahun bagi banyak negara di wilayah tersebut. Kalau kita tidak mengurangi emisi dalam jumlah banyak dan segera, prakiraannya adalah bahwa "sepertiga area lahan global diproyeksikan mengalami setidaknya kekeringan sedang pada 2100."
Kebakaran besar juga indikator atmosfer kita yang memanas dengan cepat. Laporan IPCC terkini menyatakan bahwa "seperempat dari lahan alami kini mengalami musim kebakaran yang lebih lama disebabkan peningkatan suhu, kegersangan, dan kekeringan."
Pada 2021, peningkatan 30% dari kegersangan tanah dan suhu pemecah rekor telah menyebabkan Türkiye mengalami peningkatan secara tiba-tiba pada luas hutan yang terbakar. Kebakaran besar telah menimbulkan kehancuran di California, AS,dalam waktu yang lebih lama dan dengan intensitas yang meningkat di tahun-tahun terakhir. Pada 2020, lebih dari 200.000 kebakaran diketahui terjadi utamanya di wilayah Pantanal, Cerrado dan Amazon di Brazil – 15% lebih banyak dari kejadian tahun sebelumnya dan cenderung lebih sering.
Sementara pemanasan pemecah rekor dirasakan di daratan, kebanyakan energi ekstra panas yang terperangkap di atmosfer kita tersimpan jauh di dalam lautan dan menyebabkan perubahan yang cepat serta penurunan kualitas ekosistem kunci.
Keterangan: Luas es laut Arktika Musim Panas menciut sekitar 12,6% per dekade karena pemanasan global. Sumber: NSIDC/NASA
Sejak 1955, lebih dari 90 persen dari energi yang terperangkap oleh atmosfer sebagai akibat dari peningkatan gas rumah kaca telah diserap ke dalam lautan – dan laju pemanasan laut telah meningkat secara signifikan seiring waktu.
Karena pemanasan lautan dan atmosfer, jumlah es di bumi berkurang — dari gletser sampai Arktika dan Antarktika. Ini mendorong kenaikan permukaan air laut, mengurangi kemampuan bumi memantulkan energi panas kembali ke angkasa dan membahayakan keunikan ekosistem.
Sejak perekaman satelit mulai 4 dekade lalu, es laut Arktika menurun secara pesat, kehilangan rata-rata 13% massanya setiap dekade. Seluruh wilayah Arktika mengalami perubahan drastis, yang mengancam habitat penting bagi begitu banyak spesies dan mata pencarian dari berbagai kelompok masyarakat adat. Musim dingin “akhir zaman” maha dahsyat sangat mungkin terkait dengan suhu kutub yang meningkat cepat, serta mungkin juga dengan gelombang panas di musim panas dan banjir hebat yang mematikan.
Lembar es Antarktika juga mengalami perubahan karena kenaikan suhu laut, meskipun lebih lambat dibandingkan Arktika. Sebagai penyimpan air tawar terbesar di dunia, Antarktika memiliki potensi berkontribusi besar terhadap kenaikan permukaan air laut : mendekati nol untuk pemanasan sampai 1,5 derajat Celsius, tapi dengan cepat melonjak setidaknya 2 meter kalau kita melewati 2 derajat Celsius. Perbedaan yang kita dapat buat saat ini dengan menjaga energi fosil tetap di dalam bumi terbukti menakjubkan: kalau kita bertindak sekarang, kita dapat menjaga lembar es Antarktika sebagian besar tetap utuh.
Gletser juga sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan sebagai akibat dari perubahan iklim, dan di seluruh dunia mereka dalam kondisi mundur tak terbalikkan. Penurunan kondisi gletser di wilayah Himalaya, Andes, Arktika, Alpen Selatan Selandia Baru dan sejumlah wilayah lainnya menimbulkan biaya dan ancaman yang signifikan terhadap manusia dan alam liar, karena mereka memberi sumber air penting sepanjang tahun ke banyak kota dan ekosistem di seluruh dunia.
Karena air memanas, ia memuai. Fenomena sederhana ini, disertai aliran air ke dalam lautan sebab es wilayah kutub dan gletser dunia yang mencair, mendorong kenaikan permukaan air laut secara cepat. Hanya perlu kenaikan permukaan air laut yang sedikit untuk menyebabkan kerusakan dan perubahan hebat — karena air pasang besar dan gelombang badai menyapu lebih jauh ke daratan.
Sejumlah proyeksi menunjukkan bahwa “aneka kejadian permukaan air laut ekstrem yang dulunya terjadi sekali dalam 100 tahun dapat terjadi setiap tahun pada akhir abad ini" di banyak tempat di seluruh dunia. Laju kenaikan permukaan air laut saat ini adalah sekitar 3,7mm/tahun, tapi kecepatan ini naik terus, di atas angka naik dan turun tahun-ke-tahun.
Kalau kita memastikan energi fosil tetap di dalam bumi dan membatasi pemanasan kurang dari 2°C, kita punya kesempatan membatasi kenaikan permukaan air laut pada angka sekitar 50 cm pada 2100. Dengan 37% populasi dunia hidup dekat pantai, risikonya tinggi.
Sebelum 1980-an, tidak ada tanda-tanda kejadian pemutihan karang global sama sekali dalam sepuluh ribu tahun belakangan, , dan mungkin lebih lama lagi. Hanya dalam 35 tahun terakhir itu mulai dilakukan. Dari Great Barrier Reef sampai Kepulauan Andaman di Samudera Hindia, apa yang dulunya berupa terumbu karang indah berwarna-warni yang penuh kehidupan kini menjadi putih luntur dan kemudian cokelat buram karena telah mati dan tertutup ganggang. (Baca selengkapnya kampanye kami tentang Coral Reef Crime Scene.)
Terumbu mendukung sekitar 25% dari semua spesies laut. Matinya karang secara masif merugikan kehidupan atau mata pencarian dari satu miliar orang di seluruh dunia, yang mendapat manfaat secara langsung atau tidak langsung dari ekosistem ini. Kalau emisi gas rumah kaca tetap dibiarkan, kita akan memusnahkan sebagian besar terumbu karang di dunia dalam beberapa dekade mendatang.
Badai, angin ribut, dan topan selalu terjadi, tapi karena perubahan iklim ulah manusia, angin kencang itu kini menyebabkan curah hujan lebih deras, lebih banyak banjir, gelombang badai lebih besar disertai tiupan angin yang lebih kuat.
Menurut IPCC AR6, "Peningkatan intensitas dan kekerapan dari curah hujan harian pemecah rekor telah terdeteksi pada banyak permukaan lahan tempat rekaman observasi yang baik diperoleh, dan ini hanya dapat dijelaskan dengan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca atmosfer ulah manusia." Hubungannya jelas: untuk setiap tambahan derajat pemanasan, atmosfer menyimpan sekitar 7% lebih banyak uap air – dan lebih banyak uap air di atmosfer berarti lebih banyak energi, mempercepat pengendapan, dan mengubah area terjadinya badai.
Pada 2022, 33 juta orang mengalami banjir yang mematikan di Pakistan setelah hujan lebat menerjang negara itu dengan curah hujan hampir 800% lebih tinggi dari biasanya. Pada 2021, air mengalir ke jalanan di Jerman dan Belanda dalam salah satu dari curah hujan paling lebat dalam satu abad, yang merenggut lebih dari 200 jiwa. Pada 2016, laut dengan panas tidak seperti biasanya di Kepulauan Karibia menguatkan Badai Matthew dengan sangat cepat, dan mengubahnya dari badai tropis menjadi badai Kategori 5 hanya dalam waktu 36 jam dan menimbulkan kekacauan di Haiti, Kuba, Bahama, dan tenggara AS saat ia terus melaju.
Ongkos pembakaran lebih banyak energi fosil sangat nyata — karena akan menjadikan badai, angin ribut, topan, dan puting beliung lebih mematikan dan merugikan. Menjaga energi fosil tetap di dalam bumi adalah cara terbaik melindungi manusia dari kerusakan tak terkatakan.
Iklim memasuki semua aspek kehidupan kita; konsekuensi dari bumi yang memanas akan berimbas pada kesehatan kita dalam berbagai cara – berdampak paling berat pada komunitas-komunitas rentan.
Perubahan iklim dipandang sebagai salah satu dari risiko terbesar bagi kesehatan manusia – dan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) perubahan ini mungkin menyebabkan sekitar 250.000 kematian setiap tahun antara 2030 dan 2050, khususnya karena malnutrisi, malaria, diare, dan tekanan panas.
Keterangan: Perubahan iklim mengimbas kesehatan secara langsung dan tidak langsung. Sumber: WHO
Lebih sulit menumbuhkan, mengirim, dan menyimpan pangan di iklim yang lebih panas, dan perubahan iklim juga akan sangat berimbas pada kualitas dan ketersediaan air. Kecenderungan ini akan memukul penduduk miskin paling keras, dan memperlebar ketimpangan di seluruh dunia dan dalam banyak negara. Menurut laporan terbaru IPCC, jumlah penderita kelaparan pada 2050 akan berkisar antara 8 juta hingga 80 juta, dengan penduduk di Sub-Sahara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah menjadi yang paling terdampak. Juga, "Secara global, 800 juta sampai 3 miliar orang diperkirakan mengalami kelangkaan air kronis karena kekeringan pada suhu pemanasan 2°C dan hingga sekitar 4 miliar pada pemanasan 4°C."
Salah satu konsekuensi paling tampak dari iklim yang memanas adalah tekanan panas. Pada 2100, persentase populasi dunia yang terpapar panas mematikan pasti akan naik – dari yang sekarang 30% sampai 48-76% – tapi jumlah itu bergantung pada seberapa banyak kita mampu mengurangi emisi. Di Eropa, contohnya, jumlah orang yang berisiko terkena tekanan panas akan 2 atau 3 kali lebih tinggi di dunia yang 3°C lebih panas jika dibandingkan dengan 1,5°C. Tekanan panas berhubungan dengan dehidrasi, kegagalan organ, penyakit kardiovascular, dan bahkan kematian, serta paling berdampak pada penduduk paling rentan seperti perempuan, lansia, dan komunitas-komunitas miskin.
Keterangan:Nyamuk Aedes albopictus betina mampu menyebarkan virus Zika. (Foto: James Gathany/CDC) Sumber: PHIL
Kenaikan suhu juga memperluas area yang di situ penyakit bawaan-nyamuk seperti Zika, malaria dan demam berdarah banyak dijumpai. Temuan sebuah laporan yang ditulis oleh Lancet dan diterbitkan pada 2022 menyatakan bahwa "jangka waktu penularan malaria menjadi 32% lebih lama di wilayah dataran tinggi di benua Amerika dan 15% lebih lama di benua Afrika," jika dibandingkan dengan tahun 1950-an. Kemungkinan seseorang terjangkit malaria juga meningkat 12% pada periode yang sama. Danlaporan lPCC AR6 menunjukkan bahwa, "1 miliar orang lagi diperkirakan berisiko terpapar malaria pada 2080 berdasarkan skenario pemanasan sedang dan 5 miliar orang berdasarkan skenario pemanasan tinggi."
Kejadian cuaca ekstrem (banjir, angin ribut, gelombang panas, atau kebakaran besar) terkait dengan peningkatan kekerasan dan " dapat memicu gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan depresi". Semakin banyak orang yang akan berpeluang kehilangan rumah, pekerjaan, dan jiwa karena kondisi cuaca yang lebih ekstrem dan "semua ini mempunyai efek yang mendalam dan kerap jangka panjang pada kesehatan mental". Mengatur dan menyatukan kekuatan kita guna menuntut aksi iklim segera adalah cara terbaik untuk memastikan generasi mendatang memiliki kesempatan berkembang.
Pemanasan atmosfer mengubah pewaktuan musim dan persebaran habitat, serta menggeser zona iklim yang lebih panas ke arah kutub.
Sebuah studi yang berdasarkan 976 tumbuhan dan hewan menemukan 47% dari mereka mengalami kepunahan lokal sebagai akibat dari perubahan iklim. Dan isi laporan IPCC terkini tentang Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan sangat jelas: "ancaman terhadap spesies dan ekosistem di laut, wilayah pantai, dan darat, utamanya di wilayah keanekaragaman hayati, membawa risiko global yang akan meningkat sejalan dengan setiap tambahan sepersepuluh derajat pemanasan."
Gelombang panas, kebakaran besar, kekeringan, dan musim banjir yang lebih sering, lebih lama, dan lebih dahsyat mencemaskan banyak spesies tumbuhan dan hewan serta mendorong mereka melebihi ambang batas toleransi atau kemampuan adaptasinya. Itu tidak ‘sesederhana’ seperti, misalnya, beruang kutub menghilang – ekosistem sifatnya saling terkait, dan kepunahan atau migrasi satu spesies tertentu dapat memiliki efek lanjutan yang tak terduga dan tidak diharapkan. Semuanya memengaruhi manusia, karena disrupsi alam mengurangi "kemampuannya menyediakan pelayanan mendasar yang kita bergantung padanya untuk bertahan hidup – seperti perlindungan pantai, pasokan pangan atau pengaturan iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon."
Sekitar setengah dari spesies di dunia sedikit banyak terdampak. Hewan dan tanaman telah mengubah habitat mereka ke arah kutub, menuju ke ketinggian, atau perairan samudera yang lebih dalam untuk menjauh dari cuaca ekstrem. Kini, sekitar 12% dari 8 juta spesies hewan dan tanaman di bumi berisiko punah dan menghadapi penurunan secara masif dan cepat yang tidak pernah terjadi sebelumnya karena perubahan iklim. Berbagai studi menunjukkan bahwa karena pemanasan global terus terjadi, angka-angka itu akan memburuk: dengan suhu 2°C pada 2100, sekitar 18% tumbuhan dan hewan yang hidup di darat akan berisiko punah tapi kalau dunia memanas hingga 4,5°C, "sekitar setengah dari semua spesies tumbuhan dan hewan yang pernah kita catat akan terancam.".
Konservasi alam berlangsung selaras dengan krisis iklim – keduanya mendapat hasil buruk dan menjadi bagian dari solusi untuk memastikan masa depan yang layak huni bagi manusia. Para ilmuwan mengatakan bahwa “dengan merestorasi ekosistem yang terdegradasi serta secara efektif dan seimbang mengonservasi 30 sampai 50 persen dari lahan, air tawar, dan habitat laut di bumi ini, masyarakat dapat mengambil manfaat dari kemampuan alam menyerap dan menyimpan karbon.”
Perubahan iklim telah mengubah musim, memengaruhi habitat dan mengganti zona iklim, mendorong spesies pada kepunahan, dan menyulitkan hidup petani. Menjaga energi fosil tetap di dalam bumi adalah cara terbaik melindungi habitat penting dan mata pencarian.
Fakta dasar krisis iklim tampak suram: sebagian besar dari cadangan energi fosil tetap harus di dalam bumi agar kita tetap di bawah suhu pemanasan 1,5°C dan perusahaan-perusahaan energi kotor tidak akan melakukannya tanpa penentangan.
Ini kabar baiknya:
Krisis iklim sedang berlangsung dan menimpa kita semua, tapi ini tidak dirasakan secara sama oleh banyak orang. Keadaan ini memperburuk ketimpangan dan memengaruhi semua aspek kehidupan kita: pangan, pekerjaan, kesehatan, hak asasi manusia. Solusi yang benar-benar nyata adalah yang berakar pada keadilan dan mendahulukan orang banyak dan masyarakat. Dunia tanpa energi kotor adalah dunia dengan hak-hak gender, ras, kaum migran, pekerja, dan sosial yang lebih setara – dalam dan di semua negara.
Di 350.org, kami percaya dan berjuang untuk iklim yang lebih aman serta masa depan yang lebih baik yang semua orang dapat maju dan berhasil – dan kami membutuhkanmu dalam perjuangan ini!