Jakarta, 24 Oktober 2025 – Menjelang penyerahan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia ke forum iklim global, organisasi masyarakat sipil menyampaikan desakan keras agar SNDC lebih  ambisius, tidak hanya secara angka, tetapi juga adil, transparan, dan tidak melemahkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi terhadap krisis iklim.

Tentang ambisi, Yayasan Tifa dan  350.org Indonesia menggarisbawahi ketiadaan komitmen Indonesia yang jelas dan terukur untuk menggurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai strategi mitigasi, meskipun kebijakan untuk itu di sektor ketegalistrikan telah tertuang di dalam kebijakan Perpres 112/2022 sebagai bentuk kegagalan pemerintah Indonesia memenuhi Paris Agreement. Dibandingkan dengan Enhanced NDC, Second NDC ini juga menunjukkan kemunduran target bauran energi yang sebelumnya ada pada 26%, sekarang menjadi hanya 19-23% pada tahun 2030. Padahal, Indonesia telah mengungkapkan komitmen tripling energi terbarukan pada 2030 dalam forum G20 Brazil. Bahkan lebih dari itu, Presiden Prabowo menyatakan akan menghentikan penggunaan energi fosil dalam 15 tahun, yakni pada tahun 2040.

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org menyatakan bahwa “SNDC Indonesia harus berkomitmen untuk penurunan yang cepat dan adil dalam produksi bahan bakar fosil, memastikan tidak ada proyek bahan bakar fosil baru yang disetujui—tidak ada lagi pengorbanan tanah Masyarakat Adat atau ekosistem vital untuk keserakahan korporat. Transisi yang diperlukan ini harus mencakup perlindungan bagi pekerja dan komunitas, memberikan transisi berkeadilan yang sejati yang tidak meninggalkan siapa pun

Yayasan TIFA menyoroti risiko sosial dan ekologi dalam pelaksanaan proyek-proyek yang mengatasnamakan transisi energi. “Ditemukan bahwa proyek energi terbarukan, seperti panas bumi (geothermal), justru menggusur masyarakat lokal dan adat dari ruang hidup mereka,” ujar Program Officer Natural Resources and Climate Justice Yayasan TIFA Firdaus Cahyadi.

Kami menuntut SNDC menjamin bahwa aksi mitigasi tidak akan melemahkan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi terhadap krisis iklim,” tegasnya, “Penggusuran rakyat atas nama ‘transisi energi’ adalah salah satu contohnya.” Jika masyarakat kehilangan tanah dan sumber penghidupan, lanjut Firdaus Cahyadi, kapasitas mereka untuk bertahan dari bencana iklim akan semakin lemah.

Sementara itu, Sisilia mendorong bahwa “untuk memenuhi jalur 1,5°C, SNDC perlu menghitung peluang ekonomi yang muncul dari revolusi energi terbarukan yang dipercepat, alih-alih dipandang menghambat pertumbuhan ekonomi. Energi terbarukan harus secara dramatis diperbanyak dan diberi insentif memadai melalui kebijakan dan investasi yang jelas, menargetkan setidaknya 40% dari bauran energi pada 2030, dan 55% pada 2035.

Yayasan TIFA dan 350.org Indonesia juga melihat proses penyusunan SNDC kurang transparan. “Publik tidak dapat melacak sejauh mana masukan kritis mereka ditindaklanjuti,” ujar Firdaus Cahyadi, “Partisipasi publik tidak boleh hanya tokenistik. Pemerintah wajib menyediakan mekanisme pelaporan transparan yang memungkinkan publik mengakses kemajuan perbaikan SNDC berdasarkan masukan yang telah diberikan. Ini adalah syarat mutlak untuk membangun kepercayaan dan legitimasi dokumen iklim nasional.”

Sisilia menegaskan bahwa ”Indonesia berhutang kepada generasi berikutnya, yang harus beradaptasi dengan krisis iklim di mana setiap pecahan derajat penting. Aksi iklim ambisius adalah investasi dalam kedaulatan nasional dan ketahanan ekonomi, mengamankan pasokan pangan, air, dan energi dari dampak iklim.”

Kontak Media:

Facebook