Tolak RUU MInerba

Sumber: Walhi Nasional

 

Jakarta, 15 Mei 2020 – Pengesahan RUU Minerba pada 12 Mei 2020 kemarin adalah bukti bahwa warga negara, terutama generasi muda, tidak ada dalam prioritas wakil rakyat di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasalnya, peraturan baru tersebut menjamin energi fosil dari batubara akan dapat terus dikuras, tanpa ada pertimbangan soal kenaikan laju emisi gas rumah kaca yang tak terbendung.

Padahal, krisis iklim yang diisyaratkan ilmuwan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) akan semakin parah dan tidak dapat diputarbalikkan, jika tidak ada perubahan radikal yang mampu menurunkan tingkat emisi dunia dalam 10 tahun ke depan. Krisis iklim, akan merampas masa depan anak muda dan menjauhkan mereka dari lingkungan yang lestari. Cukong batubara, bagi anggota DPR lebih punya tempat khusus. Sementara, sains dan pendapat ilmuwan ada di urutan paling belakang dalam ruang rapat di Senayan.

Djajanti dari Komunitas Climate Rangers Jakarta menyayangkan hal tersebut. “Harusnya saat pandemi seperti ini adalah momen yang tepat bagi pemerintah untuk merefleksi kembali kebijakan ke arah yang lebih lestari.” kata Djajanti. Karena dampak dari krisis iklim ini sudah sangat nyata, maka UU Minerba ini hanya akan membuat krisis-krisis baru muncul akibat dari dampak krisis iklim ini.

Anak-anak muda Indonesia menyuarakan keresahan dalam beberapa mobilisasi pada September 2019 lalu, lewat mobilisasi Jeda Untuk Iklim dan #reformasidikorupsi. Kelompok Jeda untuk Iklim mendesak aksi nyata pemerintah untuk menangani krisis iklim yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan. Sementara RUU Minerba sendiri secara khusus ditolak oleh aksi #reformasidikorupsi karena rentan penyelewengan dan konflik kepentingan serta semakin membuka ruang bagi industri ekstraktif terus merusak lingkungan hidup secara masif.

Andi Budi Saisar, salah satu penggerak Jeda untuk Iklim Makassar menegaskan penolakan terhadap pengesahan UU Minerba, karena merupakan produk hukum yang cacat. Buktinya, naskah akademis dan draft RUU yang terkesan ditutupi. “Saya kecewa,” tambah Andi. “Mereka tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan, hanya berpihak kepada korporat batu bara.” Pemerintah dan DPR benar-benar tidak serius dalam membersihkan Indonesia dari energi kotor, padahal energi kotor dapat mempercepat krisis iklim.

Perwakilan anak muda lainnya yang tergabung dalam Enter Nusantara, Elok F. Mutia menyatakan kecewa karena wakil rakyat tidak mendengarkan suara mereka. “Mereka seharusnya sadar, pesan yang disampaikan secara ‘langsung’ merupakan pemberitahuan bahwa tindakan mereka mengesahkan RUU Minerba di tengah situasi pandemi ini adalah kecurangan. Sayangnya, mereka memilih untuk abai. Yang lebih buruk, mereka melabeli penyampaian aspirasi sebagai sebuah teror. Lembaga yang seharusnya menjadi pembawa pesan rakyat, kini malah menjadikan rakyat sebagai korban. Pengesahan RUU Minerba ini akan menjadikan krisis iklim semakin nyata. “Saat ini yang dibutuhkan adalah fokus melindungi, bukan menambah derita rakyat,” tandasnya.

UU Minerba mengandung banyak pasal yang memberikan kemudahan bagi perusahaan batubara milik segelintir elit di Indonesia. Kelompok elit ini juga terafiliasi dengan kekuatan politik yang menguasai jalannya pemerintahan. Para politisi di Senayan tampak mengeksploitasi situasi krisis atau trauma kolektif akibat wabah COVID 19 untuk memaksakan perubahan yang permanen demi keuntungan pengusaha tambang. Naomi Klein menyebut situasi semacam ini sebagai kapitalisme bencana.

Sisilia Dewi, Koordinator 350.org Indonesia menambahkan bahwa kapitalisme bencana bukanlah barang baru di Indonesia. Pada krisis ekonomi 1998, banyak diterbitkan peraturan yang memprivatisasi aset negara. “Hari ini, sejarah itu berulang,” ujar Sisilia, “pengusaha tambang memanfaatkan momen krisis ini untuk memudahkan kelancaran bisnisnya. Padahal, keran industri batubara seharusnya segera ditutup setelah Perjanjian Paris diratifikasi.” 

Lewat UU baru tersebut, emisi gas rumah kaca kini dijamin pelepasannya hingga bertahun-tahun mendatang. Buah dari peraturan ini adalah ketidakadilan bagi masyarakat di wilayah tambang, bagi bumi, dan generasi mendatang. Kini, masyarakat Indonesia harus semakin bersiap diri mengantisipasi krisis-krisis selanjutnya yang akan terjadi akibat perubahan iklim.

 

 

Kontak Media

Sisilia Dewi
Indonesia Team Leader 350.org
+6282110056308
[email protected]

FacebookTwitter