Dian Paramita

“Kepada para investor dan bank-bank Jepang, saya minta dengan hormat, kami mohon, dengan kesadaran Anda, untuk menghentikan pembiayaan kedua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu. PLTU Indramayu yang pertama sudah menyiksa dan membinasakan kehidupan dan masa kami. Mengapa Anda akan mendukung PLTU kedua jika Anda tahu itu akan lebih menyiksa kami?” tanya Pak Domo, seorang pelukis dan pembuat patung dari, Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. 

 

Domo di depan PLTU Indramayu 1 di Desa Mekarsari (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

Pada 2010, pemerintah Indonesia membangun PLTU pertama di Indramayu, yang terdiri dari unit yang memproduksi generator berkapasitas 990-megawatt (MW), di Desa Mekarsari. Pendanaan proyek ini melalui pinjaman dari China Development Bank sebesar US$562 juta.

Tahun ini menandai 10 tahunnya PLTU pertama di Indramayu beroperasi dan juga penderitaan yang harus dihadapi para warga Desa Mekarsari. Namun mereka tidak pernah berhenti menyuarakan kekhawatiran dan penderitaan yang ditimbulkan dari proyek tersebut terhadap komunitas mereka.

Sejak awal PLTU pertama beroperasi, proyek ini langsung menciptakan kerusakan pada ekosistem daerah tersebut yang pada akhirnya berpengaruh buruk terhadap kehidupan para masyarakat di sana.

Hal ini membuat mereka bertindak dengan mengorganisir gerakan untuk menuntut pemerintah Indonesia agar segera menghentikan operasi PLTU pertama dan membatalkan proyek PLTU yang kedua. Pada tahun 2015, gerakan mereka menjadi sebuah komunitas bernama JatAyu (Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu).

 

Para aktivis JatAyu di depan PLTU Indramayu 1 di Desa Mekarsari Village (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

Menurut Pak Domo, yang juga salah satu anggota JatAyu, PLTU pertama tidak hanya merusak lingkungan dan alam mereka dengan polusinya, tetapi juga menciptakan ketegangan di antara masyarakat, sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

”Ada 3K alias tiga kerusakan yang ditimbulkan PLTU pertama di desa kami,” kata Pak Tomo. “Pertama kerusakan alam dan lingkungan, kedua kerusakan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, dan ketiga kerusakan moral dan kehidupan sosial,” lanjut Pak Domo.

“K yang pertama adalah kerusakan alam dan lingkungan,” sebut Pak Domo. “Dulu desa kami subur, makmur, gemah ripah loh jinawi. Setelah PLTU pertama dibangun, sekarang jadi tumpur dan binasa,” tambah Pak Domo. Bahkan pertama kalinya PLTU pertama beroperasi, seluruh pohon kelapa di desa tersebut satu persatu mati. Sekarang, setelah 10 tahun, tak ada satupun pohon kelapa yang bisa hidup.

 

Pohon-pohon kelapa di Desa Mekarsari, Indramayu, tanpa tumbuh buah dan daun (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

“Kadang sih tumbuh sebentar tapi selalu tanpa berbuah dan bahkan tanpa daun. Kemudian setelah beberapa lama, mereka akan mati,” kata Tarmudi, salah satu koordinator JatAyu di Desa Mekarsari.

 

Sebuah pohon kelapa di Desa Mekarsari Indramayu, mati dan jatuh ke tanah (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

“Dulu, orang-orang datang ke desa kami untuk membeli kelapa. Karena kelapa di desa kami terkenal berkualitas. Tapi sekarang, bahkan tak ada satu pun yang bisa hidup disini!,” jelas Domo, sementara para buruh petani yang duduk di belakangnya mengangguk setuju.

Ditambah lagi, Domo menitikberatkan bahwa para buruh tani dan nelayan juga mengeluh karena sekarang semakin sulit bagi mereka untuk menanam berbagai tumbuhan dan menangkap udang, yang disebabkan kontaminasi terhadap lingkungan dari polusi PLTU.

“K yang kedua adalah kerusakan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” kata Domo. Sebelum 2010, para buruh tani bisa menghasilkan padi hingga 6 ton dalam waktu 100 hari pada satu hektar tanah. Bahkan, pada satu hektar tanah pula, dalam 100 hari, para buruh tani bisa menghasilkan hingga 15 ton bawang dan terong. “Sebelum ada PLTU, hasil bumi padi, bombay, dan terong kami sangat berkualitas!” kata Sukma, salah satu buruh tadi di Desa Mekarsari.

Sukma menunjukkan terong yang ia tanam dengan hasil yang sangat berkualitas, sebelum PLTU Indramayu 1 dibangun di Indramayu (2010)
Kredit foto: JatAyu

 

“Tapi hari ini, jika kami bisa menghasilkan 2 ton padi dari satu hektar tanah selama 100 hari, kami sudah sangat bersyukur,” kata Domo.

Sementara itu, menanam bawang sekarang paling sulit. Tahun ini, salah satu petani bawang, Bu Darisem, gagal panen bawang. Ia rugi besar. “Menanam bawang di desa kami itu yang paling sulit bagi kami sekarang,” kata Ketua JatAyu, Pak Rodi. Pak Rodi juga salah satu buruh tani yang terkena dampak dari PLTU pertama di desanya.

 

Darisem menunjukkan kebun bawangnya yang kering dan gagal panen di Desa Mekarsari, Indramayu (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

Sekarang, hampir semua petani memutuskan untuk berhenti menanam bawang. Mereka lebih memilih untuk menanam pagi dan terong, walaupun mereka sadar kualitasnya tidak sebaik seperti sepuluh tahun lalu.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, para nelayan di Desa Mekarsari juga menghadapi dampak buruk dari PLTU pertama. Sejak tahun 1420-an, Indramayu terkenal sebagai kabupaten penghasil terasi terbaik di Indonesia yang dibuat dari udang jenis rebon. Desa Mekarsari adalah salah satu desa di Indramayu yang menjual dan mengirim udang rebon untuk terasi ke seluruh Indonesia.

“Dulu gampang sekali untuk teman-teman saya para nelayan untuk menener udang. Sebelum 2010, mereka hanya membutuhkan 5 liter solar untuk berlayar sampai 5 km dan bisa menangkap lebih dari 150 kg udang rebon. Hasil tangkap mereka bisa untuk makan di rumah dan menafkahi kebutuhan keluarganya.

Namun sekarang, mereka harus menghabiskan 20 liter untuk berlayar hingga 20 km untuk mendapatkan kurang dari 5 kg udang rebon. Para nelayan mengaku mereka tidak bisa menjual apapun. Mereka bahkan tidak bisa memberi makan untuk keluarganya apalagi menafkahi kebutuhan lainnya dari hasil berlayar di laut.

Pada hari Rabu, 17 Juni 2020, seorang nelayan lokal bernama Mistra mengaku, “Saya ke berlayar ke laut dari jam 06.00 pagi hingga jam 10 siang, tapi tetap tidak mendapatkan apapun.” PLTU Indramayu pertama ini telah mengubah tradisi masyarakat Indramayu yang sudah ada sejak 600 tahun lalu.

Mistra, nelayan udang di Desa Mekarsari (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

Masyarakat Mekarsari tidak hanya kesulitan mencari nafkah untuk diri sendiri dan  keluarganya, tapi mereka juga merasa tidak punya harapan lagi untuk masa depan mereka. Mereka sudah berusaha mencari alternatif pekerjaan lain. Namun tidak semua memiliki kemampuan dan keterampilan lain, karena sejak kecil mayoritas dari mereka dibesarkan menjadi petani dan selama ini menjadi buruh tani sudah cukup bagi mereka.

Awalnya, pemerintah dan perusahaan menjanjikan bahwa proyek mereka akan memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan kesempatan hidup yang lebih baik. “Tapi, faktanya, pekerjaan untuk kita itu sehebat-hebatnya satpam. Apakah itu terdengar kesempatan yang lebih hebat bagi masyarakat sini? Padahal di sini banyak insinyur, banyak yang potensial. Kenapa tidak ada yang bekerja disana?” tanya Pak Domo.

Penduduk lokal juga khawatir dengan adanya polusi yang ditimbulkan dari asap batu bara yang disebut-sebut membuat masyarakat terjangkit penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), yang paling banyak diderita pada anak-anak di bawah usia lima tahun.

 

Seorang anak berusia 8 tahun dan hasil X-ray yang menunjukkan bahwa ia terjangkit penyakit paru-paru (2017)
Kredit foto: Ardiles Rante

 

Erisa, seorang ibu muda yang juga tinggal di dekat PLTU Indramayu pertama, kehilangan nyawa anaknya yang hanya berumur 6 bulan bernama Fiki di tahun 2013. Penyebab anaknya meninggal adalah penyakit paru-paru. Bahkan Erisa juga mengidap penyakit yang sama seperti putranya.

 

Erisa menunjukkan foto putranya, Fiki, yang meninggal pada tahun 2013, karena mengidap penyakit paru-paru (2017)
Kredit foto: Ardiles Rante

 

“Asap batu bara itu lebih berdampak pada kesehatan anak-anak. Coba saja cek di puskesmas di daerah sini, hampir semua pasien adalah anak-anak,” kata Pak Rodi.

“Kalau ditanya apa manfaat yang masyarakat rasakan setelah adanya PLTU pertama ini, jawabannya nol. Kami tidak mendapatkan manfaat apapun selain mimpi buruk demi mimpi buruk. Alam kami dirusak, semakin banyak pengangguran, dan polusi dari asap batu bara sangat berdampak pada kesehatan kami. Ini lah mengapa kami mengatakan PLTU telah merusak ekonomi dan kesejahteraan kami,” kata Domo.

“K yang ketiga adalah kerusakan modal dan kehidupan sosial. Tadinya di desa kami kehidupannya sangat damai. Tidak ada rasa kecewa, rasa frustasi, atau kebencian,” Domo mengaku. Namun, pemerintah dan perusahaan tidak pernah mengundang penduduk lokal terutama para buruh tani dan para nelayan, untuk membahas rencana proyek pertama mereka tersebut. Pada penduduk lokal mengaku mereka tidak tahu menahu mengenai rencana PLTU pertama. Namun, sekarang mereka lah yang harus menghadapi berbagai konsekuensi dan dampaknya.

Masyarakat dan komunitas JatAyu juga harus menghadapi intimidasi dari perusahaan. Kejadiannya cukup buruk sampai-sampai tujuh buruh tani yang juga anggota JatAyu akhirnya harus masuk penjara. Salah satunya adalah Pak Sukma, seorang buruh tani yang sebelumnya juga menceritakan pengalamannya mengenai dampak PLTU terhadap hasil panen terongnya.

Pada 2016, pada penduduk lokal bersama para aktivis melakukan protes di depan bangunan PLTU Indramayu pertama. Di situ lah mereka mengaku dipukuli oleh para penjaga keamanan PLTU dan personel polisi. Mereka langsung melakukan visum untuk mendapatkan bukti kekerasan dan melaporkannya kepada polisi. Namun pada akhirnya, empat buruh tani yang juga anggota JatAyu dipenjara selama enam bulan.

Tahun berikutnya, pada 2017, tiga buruh tani diputuskan bersalah dan dipenjara selama enam bulan, setelah mereka dituduh membalikkan bendera Indonesia, yang mana dianggap telah menghina lambang negara.

“Dimana moral orang-orang itu? PLTU ini tidak memberi manfaat apapun selain menciptakan kerusakan pada kehidupan kita yang tadinya sungguh damai,” kata Domo. Mereka merasa masalah demi masalah ini telah merusak keharmonisan kehidupan sosial mereka.

“Dan sekarang, bahkan saat kami masih susah payah mencari jalan keluar menghadapi semua permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya PLTU pertama di Indramayu, pemerintah Indonesia justru merencanakan untuk membangun PLTU yang kedua di desa kami,” kata Domo. Pemerintah dikabarkan mendapatkan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA), sebuah agen bantuan pemerintah Jepang.

Setelah menarik nafas panjang, Pak Domo meneruskan, “Kalau pemerintah Jepang tetap merencanakan untuk mendukung proyek PLTU ini –kenapa mereka tidak bom saja desa kami sekarang? Daripada membunuh kami secara perlahan seperti 10 tahun belakangan? Kami kelaparan dan tak punya harapan.”

Rencana PLTU kedua ini juga lebih menakutkan bagi para penduduk lokal, karena PLTU yang kedua dikabarkan akan lebih besar daripada yang pertama. Ibu Karyati, seorang ibu dan buruh tani mengatakan, “Anda tahu kalau selama ini kami sengsara sejak PLTU pertama dibangun. Kami meminta pemerintah jepang, mohon tidak memberikan dana untuk mendukung pembangunan PLTU yang kedua. Mohon hentikan.”

“Kalau memang Jepang akan tetap mendanai PLTU di Indonesia, artinya Jepang menjajah Indonesia yang kedua kalinya!” teriak Pak Domo. Pak Domo bahkan mengaku ia pernah mengatakan hal ini pada saat pertemuan di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

 

Pak Domo bercerita tentang kondisi desanya, dalam acara Global Divestment Day (2018)
Kredit foto: Malahayati

 

Sebelumnya, Pak Domo bukan seorang aktivis. Ia hanya seorang seniman yang bahagia dan ceria. Hari ini ia berusia 63 tahun, masih bekerja sebagai pelukis dan pembuat patung, namun tak seceria dahulu.

Saat 350.org Indonesia bertanya apa hal yang membuatnya bahagia di hidupnya, kami mengharapkan jawaban yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, seperti mendengarkan musik atau tiduran di samping sawah.

Namun, Pak Domo menjawab, “Yang membuat saya bahagia… Kalau saya bisa hidup seperti 10 tahun yang lalu sebelum ada PLTU di Indramayu. Sepuluh tahun lalu saya sangat bahagia. Kami semua sangat bahagia. Dahulu hidup kami sudah lebih dari cukup dan kami sudah sangat bersyukur. Tidak seperti hari ini.”

Hari ini, Pak Domo meluangkan waktunya untuk aktif menyuarakan hak-hak mereka. Pak Domo mengaku bangga terhadap masyarakat Mekarsari karena ia tidak pernah merasa sendirian berjuang. Perlawanan dan gerakan yang ia lakukan bersama hampir seluruh masyarakat di Mekarsari dan JatAyu membuat hubungan mereka semakin erat.

 

JatAyu melakukan protes melawan rencana pembangunan PLTU Indramayu 2 di depan Pengadilan Negeri Bandung (2017)
Kredit foto: WALHI

 

“Namun saya tidak pernah bisa membayangkan gerakan kami ini akan sekuat ini kalau tidak karena kepemimpinannya Ketua JatAyu, Pak Rodi, dan segala dukungan dari berbagai pihak termasuk organisasi-organisasi besar,” kata Pak Domo. Pak Rodi pun tersenyum di sampingnya.

Pak Rodi menjelaskan, sejak 2015, mereka telah melakukan apapun untuk mencapai tuntutannya. Seperti contohnya pada tahun 2017, mereka menuntut rencana pembangunan PLTU Indramayu kedua karena Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang digunakan sudah kedaluwarsa. Namun JatAyu kalah.

Bahkan dalam beberapa tahun belakangan, mereka juga telah berhasil melakukan beberapa pertemuan bersama Bupati Indramayu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Sekretariat Negara, dan bahkan mereka diundang ke Istana Negara.

Sayangnya, tidak ada satupun dari pihak-pihak tersebut telah melakukan sesuatu yang signifikan untuk menghentikan rencana pemerintah Indonesia dalam membangun PLTU Indramayu yang kedua. Tidak ada satu pun yang berubah. PLTU yang pertama masih beroperasi dan PLTU yang kedua sudah mulai membangun cerobong asapnya yang pertama di Desa Sumur Adem, dekat dengan Desa Mekarsari.

 


Aktivitas pembangunan PLTU Indramayu 2 (Juni 2020)
Kredit foto: JatAyu

 

Namun, masyarakat Mekarsari bersama JatAyu percaya bahwa lebih banyak orang baik di luar sana daripada yang tidak. Maka dari itu, mereka mengatakan mereka masih memiliki sedikit harapan. “Kami berharap, orang-orang baik seperti Anda akan selalu sadar atas konsekuensi dari keputusan-keputusan Anda, termasuk keputusan menginvestasikan uang Anda dalam sebuah proyek yang tidak akan menyakiti satu jiwapun,” kata Pak Domo dengan penuh harap.

FacebookTwitter