Debat calon presiden (capres) untuk ronde pertama akan mengangkat isu hak asasi manusia (HAM). Banyak agenda HAM mungkin akan menjadi perdebatan capres. Ada persoalan pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya, seperti pelanggaran HAM pada kasus pembunuhan massal 1965, pembunuhan misterius (petrus), Tanjung Priok, Pembunuhan aktivis buruh Marsinah, jurnalis Udin, DOM Aceh, Papua, tragedy Trisakti, Semanggi hingga penculikan aktivis di 1998 dan masih banyak lagi. Belum lagi berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di saat Pemerintahan Jokowi berkuasa.

Indonesia memang memiliki potret buram terkait pelanggaran HAM, tak heran berbagai pelanggaran HAM itu tentu akan menjadi sorotan masing-masing capres. Terlebih debat pertama berdekatan dengan momentum Hari HAM Internasional yang jatuh pada 10 Desember 2023. Tapi, sebenarnya debat pertama tentang HAM itu juga berdekatan dengan KTT Iklim di Dubai. Tapi, apa kaitannya HAM dengan krisis iklim?

Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB), Volker Turk, pada Juli 2023 lalu mengungkapkan bahwa saat ini lingkungan hidup tengah mengalami degradasi akibat krisis iklim. Bencana ekologi yang ditimbulkannya pun telah terjadi di berbagai penjuru dunia. Ia dengan tegas mengungkapkan bahwa mengatasi perubahan iklim adalah masalah hak asasi manusia.

Dalam konteks HAM, ada kewajiban negara untuk menghormati dan memenuhi hak-hak warganya. Di tengah krisis iklim, ada jutaan orang yang kelaparan dan tidak memiliki akses terhadap air bersih. “Lebih dari 828 juta orang menghadapi kelaparan pada tahun 2021. Dan perubahan iklim diproyeksikan akan menempatkan hingga 80 juta lebih banyak orang dalam risiko kelaparan pada pertengahan abad ini,” kata Turk seperti ditulis oleh sebuah media online terkemuka di Indonesia.

Pertanyaannya tentu saja adalah bagaimana negara akan memenuhi hak warganya atas air, pangan dan energi di tengah krisis iklim? Bagaimana negara akan melindungi keselamatan warganya dari bencana iklim di wilayahnya?

Pemenuhan hak warga atas pangan dan air di tengah krisis iklim tentu tidak bisa dilakukan hanya dengan cara bagi-bagi makan siang gratis atau susu pada warga miskin. Pemenuhan hak warga atas pangan juga tidak bisa dilakukan dengan menggelar proyek food estate yang justru merusak alam. Pemenuhan hak warga atas energi juga tidak bisa hanya dilakukan dengan cara menyerahkan penguasaan energi, meskipun itu energi terbarukan, kepada segelintir elite pemilik modal yang kebetulan berada di lingkar kekuasaan. Upaya melindungi keselamatan warga dari bencana krisis iklim tentu tidak bisa dilakukan dengan bagi-bagi mie instan kepada korban.

Perlu cara baru untuk melindungi hak warga atas pangan, air dan energi di tengah krisis iklim. Perlu cara baru juga untuk melindungi warga dari bencana krisis iklim. Perlu inovasi untuk adaptasi warga terhadap krisis iklim.

Pertanyaannya apakah persoalan-persoalan hak warga atas pangan, air, energi dan keselamatan hidupnya di tengah krisis iklim akan masuk dalam perdebatan capres terkait HAM?

FacebookTwitter