Also available in English

Kecaman penolakan sejumlah pihakakademisi, pemuka agama, masyarakat adat, mahasiswa, buruh dan aktivistidak membuat pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) urung mengesahkan Undang Undang Cipta Kerja (UU Cilaka). Hari Senin, 5 Oktober 2020, undang-undang setebal hampir 1000 halaman ini disetujui oleh DPR, tiga hari lebih cepat dari jadwal. Peraturan kontroversial yang kerap disebut Omnibus Law itu, memangkas 79 undang-undang dan menggelar karpet merah bagi investasiwalau itu berarti petaka bagi kalangan buruh, bencana untuk masyarakat adat, dan ancaman pada lingkungan.

“Ini alarm tanda bahaya bagi bumi, dan obat kuat pemercepat krisis iklim.” ujar Irfan Toni Herlambang, Digital Campaigner dari 350.org. Undang-undang yang terbagi dalam 11 klaster, 15 bab dan 168 pasal ini akan membuka ruang eksploitasi alam seluas-luasnya, tanpa ada batasan pengawasan yang jelas. Segelintir elit di DPR menguasai dan menentukan masa depan ratusan juta orang Indonesia, tanpa mempertimbangkan keadilan, melupakan nasib rakyat, dan hanya mementingkan kepentingan bisnis dan investasi. “Mereka adalah orang-orang yang berdiri di sisi sejarah yang keliru,” kata Toni menambahkan.

 

Save the Future

(Kredit Poster Twitter @FraksiRakyatID)

 

Proses pembuatan UU ini menimbulkan sejumlah tanya. Berlawanan dengan kebiasaan DPR yang lamban dan tidak produktif, UU ini dibuat secara kilat dan terburu-buru. Anggota DPR bekerja pagi hingga tengah malam, termasuk akhir pekan, untuk mempercepat pembahasan ribuan pasal. Hingga akhir masa sidang, perdebatan terus terjadi karena memang tidak pernah ada cukup waktu untuk membahas kompilasi dari 79 undang-undang yang memuat total lebih dari 1200 pasal itu. Rapat kerja pembahasan DPR bersama 31 kementerian dan lembaga sampai diadakan di sejumlah hotel mewah, dengan biaya dari sumber yang tidak jelas.

Pandemi di Indonesiadengan 300.000 kasus dan pertambahan hingga 4.000 kasus per haritidak membuat DPR meredam nafsu untuk membahas UU ini. Bahkan saat ada puluhan anggota tim perumusterdiri dari 127 orang berlatar belakang pengusaha—ada yang terkena Covid-19, sidang tetap dijalankan. Prinsip representasi juga tidak diterapkan, karena DPR beranggotakan 575 orang, tapi rapat paripurna hanya dihadiri 318 orang. Banyak dari mereka tidak bisa mengakses naskah akademis terbaru, yang berujung kurangnya pemahaman mereka soal pembahasan materi.

Diberlakukannya undang-undang ini juga berarti dirampasnya mimpi jutaan masa depan anak muda Indonesia. Mereka bisa jadi tak punya bayangan tentang bumi yang lestari dan alam yang tak ternilai harganya. Sepuluh tahun lagi, bukan tidak mungkin krisis iklim yang semakin parah membuat mereka makin tercekik asap polusi serta lupa pada birunya langit dan hijaunya hutan hujan Indonesia. Tak ada lagi kenangan soal alam yang tersisa. “Ibu Pertiwi kini sedang terluka oleh sembilu yang ditikamkan bertubi-tubi lewat Omnibus Law,” ucap Toni.

Desakan untuk membatalkan undang-undang malapetaka ini akan tetap disuarakan. Solidaritas digaungkan bersama ribuan orang yang berderap melawan. Pemerintah dan wakil rakyat harus menarik kembali keputusan mereka dan menimbang urgensi membuat peraturan ini. Mereka seharusnya membuat peraturan dengan mengutamakan penanganan pandemi lewat pemulihan yang adil, serta berfokus pada upaya kesehatan dan nasib rakyat, bukan investasi. Para legislator itu sudah selayaknya menempuh kegentingan yang sama soal krisis iklim, bukan malah membuka pintu lebar bagi eksploitasi alam.

Petinggi negara semestinya berpihak pada rakyat dan berdiri di sisi sejarah yang benar.

#JegalSampaiBatal #BatalkanOmnibusLaw

 

(Kredit ilustrasi cover @mc.aminrais)

 

FacebookTwitter